Walking a Tightrope

Walking a Tightrope

Harga minyak, sampai pekan lalu, masih bertengger di atas US$75 per barel. Dan seiring dengan meningkatnya harga minyak, pada kuartal II lalu, Big Oil mencatatkan kinerja yang meningkat dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2017 (lihat Market Insight 32/LIV). Pada kuartal III ini, pelaku pasar berekspektasi, Big Oil akan juga mencatatkan kinerja yang baik. Banyak yang menganggap bahwa kenaikan harga ini merupakan momentum bagi perusahan migas, untuk kembali melakukan investasi. Namun ketidakpastian yang mempengaruhi harga minyak, membuat perusahan migas enggan untuk melakukannya (lihat Market Insight 42/LIV).


Ketidakpastian tersebut ditegaskan oleh Bob Dudley, CEO BP. Dudley menyatakan bahwa tingginya harga minyak saat ini adalah semu dan tidak sehat bagi ekonomi dunia. Tingginya harga minyak ditambah dengan pelemahan mata uang domestik, telah menyebabkan ekonomi beberapa negara terganggu. Dudley juga menyatakan bahwa harga yang seimbang antara pasokan dan permintaan adalah antara US$50-60 per barel. Menurutnya, kesimbangan ini terganggung akibat kondisi di Venezuela dan penerapan kembali sanksi Iran.

Sumber : Investor Relations – Corporate Secretary
Untuk komentar, pertanyaan dan permintaan pengiriman artikel Market Update via email ke pertamina_IR@pertamina.com

Sumber: International Monetary Fund, 2018

Pandangan yang sama juga disampaikan organisasi internasional, seperti International Energy Agency (IEA) dan International Monetary Fund (IMF). IEA menyatakan bahwa tingginya harga minyak telah memicu kenaikan harga sumber energi lain seperti gas dan batubara, yang akan menahan laju pertumbuhan ekonomi khususnya di negara berkembang. Ditambah dengan penguatan Dolar AS dan perang dagang, IEA memperkirakan permintaan minyak akan berkurang 110 ribu barel per hari di tahun 2018 dan 2019, akibat melambatnya pertumbuhan tersebut.

Sejalan dengan itu, IMF mengoreksi proyeksi pertumbuhan ekonomi global untuk tahun ini dan tahun depan. Dari 3,9 persen pada proyeksi mereka di April lalu, menjadi 3,7 persen. Alasan utama koreksi tersebut termasuk perselisihan perdagangan, ketegangan geopolitik, dan melemahnya proyeksi pertumbuhan ekonomi negara berkembang akibat beban impor minyak yang makin tinggi.
Beberapa pelaku pasar, yakin bahwa minyak dapat menembus US$100 per barel. Didukung faktor-faktor di atas dan ditambah dengan OPEC yang belum mampu menyeimbangkan pasokan minyak dunia. Bagi perusahaan migas global, kondisi demikian akan seperti berjalan di tali titian.

Share this post