Ethanol Dilemma

Ethanol Dilemma

Sebagai salah satu sumber energi alternatif yang diklaim ramah lingkungan, kemunculan bahan bakar bioetanol mendapatkan reaksi negatif dari pasar. Kondisi tersebut menjadi kendala dalam hal penerapan bioetanol sebagai bahan bakar wajib di beberapa negara, seperti halnya yang terjadi di Tiongkok dan Indonesia.

Pemerintah Tiongkok sudah merilis kebijakan dalam negeri yang mewajibkan penggunaan etanol di seluruh wilayah pemerintahannya pada Januari 2020, namun terkendala oleh berbagai macam faktor. Beberapa alasan yang menghambat adalah penolakan dari pengusaha lokal, ongkos produksi etanol yang tinggi, serta terbatasnya pasokan bahan baku.

Berbeda dengan Tiongkok, Amerika Serikat (AS) dan Brazil merupakan negara yang sukses menerapkan etanol sebagai komponen wajib dalam campuran bahan bakar kendaraan. AS dan Brazil juga merupakan negara dengan tingkat produksi etanol tertinggi di dunia. Sebagai contoh, sepanjang periode 2018 AS berhasil memproduksi 16.1 miliar gallon sedangkan Brazil berada di posisi kedua dengan jumlah produksi sebesar 7,95 miliar gallon.

Saat ini, mayoritas jenis kendaraan di Brazil adalah flexible-fuel vehicle yang dapat mengkonsumsi bioetanol. Hal tersebut terjadi karena sejak tahun 1976, pemerintah Brazil telah menerapkan kebijakan bahwa etanol wajib digunakan sebagai campuran bahan bakar kendaraan dengan komposisi 22% etanol dan 78% bensin yang disebut dengan E22. Dan sejak tahun 2015 hingga saat ini Brazil sudah berhasil menggunakan bioetanol E25.

Bagaimana dengan perkembangan bioetanol di Indonesia? Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) sudah merilis Peraturan Menteri ESDM Nomor 12 Tahun 2015 yang di dalamnya menyebutkan bahwa penggunaan bioetanol E5 diwajibkan pada 2020 dengan formulasi 5% etanol dan 95% bensin dan meningkat ke E20 pada 2025. Namun dalam perjalanannya rencana tersebut menghadapi kendala seperti yang dialami oleh pemerintah Tiongkok. Pemerintah bahkan akhirnya merevisi penerapan bioetanol tersebut dengan menurunkan kandungan etanol menjadi 2%. Setelah serangkaian uji coba dilakukan termasuk dengan Pertamina, penerapan E2 pun masih jauh dari harapan karena terkendala ongkos produksi yang masih tinggi, sehingga kehadiran etanol kurang kompetitif sebagai bahan bakar alternatif untuk kendaraan. Dalam upaya mewujudkan cita-cita pemerintah tersebut, Dewan Energi Nasional (DEN) mengharapkan adanya kerja sama terintegrasi antar Kementerian terkait termasuk dengan industri otomotif.

Sumber : Investor Relations – Corporate Secretary
Untuk komentar, pertanyaan dan permintaan pengiriman artikel Market Update via
email ke pertamina_IR@pertamina.com

Share this post