BANDUNG – Pengimplementasian green fuel masih terus dibahas sebagai salah satu alternatif solusi untuk meningkatkan ketahanan energi nasional. Salah satu pembahasan yang dilakukan oleh berbagai pihak berkompeten tentang implementasi, potensi, dan tantangan yang dihadapi dalam memproduksi green fuel di Indonesia, pada Senin (14/1/2019), di Patra Comfort, Bandung.
Vice President Process and Facility Pertamina Dadi Sugiana mengatakan, pasca RDMP, akan terjadi shifting kebutuhan impor secara masif dari produk kilang menjadi crude impor.
“Tahun 2018 sebesar 330 ribu bbl/hari. Diperkirakan pada tahun 2026 menjadi 1.45 juta bbl/hari. Untuk itu, Pertamina harus mempersiapkan ketersediaan pasokan crude jangka panjang dan mengoordinasikan penyaluran produksi kilang yang paling optimum untuk market domestik dan ekspor,” paparnya.
Menurut Dadi Sugiana, Pertamina harus melakukan akurasi perencanaan dalam menghadapi market yang semakin dinamis dan operational excellence dalam interaksi dengan market global.
“Keberhasilan Co-Processing di Residue Fluid Catalytic Cracking Unit RU III Plaju menunjukkan bahwa kemampuan kita memadai untuk mengembangkan teknologi green fuel secara cepat baik Co-Processing maupun Standalone. Selain itu, dari aspek kualitas dan emisi, green fuel lebih baik dibandingkan fossil fuel jika dikelola dengan baik,” tambahnya.
Karena itu, Dadi menegaskan, yang dibutuhkan untuk menyukseskan implementasi green fuel ialah regulasi, formulasi harga, serta sinergi para pihak. “Sehingga secara bisnis dari hulu dan hilir harus sustain,” tukasnya.
Hal tersebut disepakati oleh Staf Ahli Menteri PPN Bidang Sinergi Ekonomi dan Pembiayaan Amelia Adininggar Widyasanti. Ia menegaskan, pengembangan green fuel ini sangat penting untuk Indonesia. Yaitu untuk mendukung upaya menciptakan ketahanan energi nasional, mendukung pertumbuhan diversifikasi ekonomi dan mengurangi tekanan dari defisit transaksi ekonomi, serta mendukung upaya-upaya sustainable development.*IN